Jumat, 19 Desember 2008

Manusia Wakil Allah

Manusia diciptakan dengan tujuan untuk mewakili Allah di bumi ini. Ia membawa rupa dan gambar Allah. Ciptaan lainnya dapat melihat Allah melalui manusia karena manusia begitu menyerupai atau mirip dengan Tuhan yang menciptakannya.

Sebagai mahkota ciptaan Allah, manusia memikul tanggung jawab khusus dalam hidupnya. Mazmur 8 menggambarkannya dengan indah.

Hampir sama seperti Allah. Kondisi ilahi manusia menjadikannya tidak sama dengan ciptaan lainnya. Ketidaksamaan ini adalah suatu kehormatan dan kemuliaan, tetapi juga sekaligus tanggung jawab. Ia dituntut untuk bertindak sesuai dengan kehormatan yang ia miliki. Ada berbagai interpretasi teologis yang berbeda-beda mengenai keberadaan manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Gambar (image) mengacu pada penampilan manusia yang secara indah menggambarkan Allah; sedangkan rupa (likeness) mengacu pada moralitas, daya rasio dan intelektual manusia yang seperti Allah. Tetapi pada dasarnya, frase "hampir sama seperti Allah" (terjemahan Inggris: "sedikit lebih rendah dari Allah") atau "dalam gambar dan rupa Allah" lebih memperlihatkan ketergantungan manusia kepada Tuhan. Seperti tanaman memerlukan sinar matahari untuk tumbuh, demikian juga kita memerlukan Tuhan sendiri untuk menghidupkan rupa dan gambar-Nya di dalam diri kita. Manusia diberikan kehormatan untuk membawa karakter, kemuliaan dan kuasa Allah di dunia ini di dalam Tuhan, bukan di dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu “hampir sama seperti Allah” atau “diciptakan dalam rupa dan gambar Allah” juga mengacu pada keterbatasan manusia bila berjalan tanpa Allah.

Dimahkotai dengan kemuliaan dan hormat. Karena manusia tidak diciptakan sama dengan yang lainnya, iapun dituntut untuk bertindak sesuai dengan penciptaannya. Manusia tidak dapat bertindak seperti alam seisinya. Ia tidak dapat mencontoh dan meniru binatang, alam dan kosmik. Ia tidak dapat hidup kawin-mengawinkan seperti hewan, atau menerapkan sistem yang kuat yang menang (survival of the fittest) dalam perekonomiannya; atau percaya pada cycle of life yang melihat hidupnya integral berputar dalam alam; atau menganggap manusia adalah spesies yang sama dengan hewan mamalia lainnya. Tidak! Manusia lebih tinggi daripada ciptaan lainnya, sebab ia memiliki mahkota kemuliaan dan hormat.

Berkuasa atas segala ciptaan. Manusia ditetapkan untuk melatih wewenang (otoritas) dan kuasa yang ia miliki. Ia harus menjalankan pemerintahan Allah dan menegakkan kebenarannya oleh iman dan Roh Kudus, untuk meneguhkan Kerajaan Allah.

Segala-galanya telah diletakkan di bawah kakinya. Manusia ditentukan untuk memiliki kemenangan. Kemenangan adalah sesuatu yang diberikan Tuhan, yang perlu diterima oleh manusia. Inilah pertempuran dan pertandingan yang sesungguhnya telah ditetapkan Tuhan bagi setiap orang. Setiap orang harus mengambil jalannya dan berjalan di dalamnya. Seperti Yosua dan Kaleb yang berhasil memiliki dan mewarisi janji Allah. Mereka menang dan mereka berhasil memenuhi tujuan hidupnya. Setiap orang bertanggung jawab atas kehidupannya. Apakah ia telah menaklukkan bumi ini dan meletakkannya di bawah kakinya seperti yang telah Tuhan tentukan? Manusia diciptakan bukan untuk pasif dan tanpa pilihan; melainkan aktif dan menentukan pilihannya.


Curdie dan Ibunya

CurdieThe Princess and the Goblin, dongeng anak-anak terkenal karangan George MacDonald. Pendeta, novelis dan penyair Skotlandia ini bisa disebut "bapa rohani"-nya C.S. Lewis. Karya-karyanya yang memancarkan cheerful goodness ‘kebaikan yang menyenangkan hati’, khususnya Phantastes, telah memukau imajinasi Lewis dan meyakinkannya, bahwa kebenaran itu bukan sesuatu yang menjemukan.

Dalam salah satu bagian dongeng ini, dikisahkan hubungan Curdie, anak seorang penambang, dan Ibunya. Nyonya Peterson adalah lbu yang sangat baik dan manis. Ibu-­ibu yang lain memang baik dan manis, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, namun Nyonya Peterson benar-benar baik dan manis, serba lebih dan tanpa kekurangan. Rumah sederhana di lereng bukit telah dijadikannya surga kecil bagi suami dan anaknya – tempat peristirahatan yang nyaman bagi mereka sepulang dari tambang yang redup dan berdebu. Tangannya memberikan kehangatan, namun kasar, tebal dan besar karena tekun bekerja bagi mereka; karena itu, di mata para malaikat, tangannya tampak sangat indah.

Suatu ketika, Curdie kerja lembur di tambang selama sekian malarn. Itu dilakukannya antara lain agar dapat membelikan rok merah baru bagi ibunya sebelum musim dingin tiba. Namun, sekalipun Curdie bekerja keras, kenyamanan yang dihasilkan oleh kerja keras Ibunya jauh lebih dirindukan Curdie bila dibandingkan dengan kerinduan ibunya akan rok baru, sekalipun pada musim dingin. Ini bukan berarti Curdie dan Ibunya menghitung-hitung seberapa besar yang telah mereka lakukan bagi yang lain: perhitungan itu justru akan merusakkan segala-galanya.

Dan ini bukan cerita tentang kasih Ibu sepanjang jalan, kasih anak sepenggalah. Lebih dalam dari itu. Penggalan dongeng ini menggambarkan dengan bagus kesimpulan Yohanes tentang mengasihi Allah, "Sebab inilah kasih kepada Allah, yaitu, bahwa kita menuruti perintah-perintah-Nya. Perintah-perintah-Nya itu tidak berat" (I Yohanes 5:3).

Perintah-perintah-Nya tidak berat kalau kita mengasihi Dia. Kalau kita tidak berhitung-hitung dalam memberi diri dan melayani Dia – kalaupun benar-benar dihitung, akan jomplang-lah timbangan kita: karena Tuhan serba baik dan tanpa kekurangan. Karena itulah Paulus menasihati kita "demi kemurahan Allah" (Roma 12:1), agar mempersembahkan tubuh kita, seluruh hidup kita, untuk memuliakan Tuhan. Dari sini kita bisa melayani Dia dengan sukacita dan dengan gembira hati.

Dan dalam kisah Curdie tadi, bukan lagi perintah Ibunya saja yang dilakukannya. Ia hendak memberikan pula apa yang menjadi kerinduan hati ibunya. ***

Selasa, 16 Desember 2008

KISAH PENCIPTAAN LAGU NATAL

Malam itu, langit di lereng pegunungan Alpen, Austria, terlihat cerah. Joseph Mohr berjalan menulusuri jalan setapak, usai menonton pertunjukan drama Natal yang dipentaskan oleh sekelompok aktor keliling. Menurut rencana, sebenernya drama itu akan dipentaskan di gereja St. Nichoas, tetapi karena organ gereja rusak akibat digigiti tikus, maka pentas itu terpaksa dialihkan ke rumah salah satu jemaat.

Ketika sampai di puncak bukit, Mohr berhenti sejenak untuk melihat pemandangan di bawahnya. Dia begitu terpesona pada kerlap-kerlip lampu-lampu yang memancar dari dalam rumah penduduk. Suasananya sangat sunyi dan teduh. Hal itu membuat Mohr membayangkan suasana malam ketika Kristus lahir di kandang Betlehem. "Malam sunyi! Malam kudus!" Kata-kata itulah yang yang tiba-tiba terlintas di benak Mohr.

Sesampai di rumahnya, Mohr segera menyambar pena dan kertas untuk menuliskan baris-baris puisi yang meluap dari hatinya. Setelah itu, dia punya rencana untuk menyanyikan syair gubahannya itu pada malam kebaktian Natal di gerejanya. Keesokan harinya, dia segera menemui Franz Xaver Grüber, seorang guru desa dan pemain organ gereja. Pada hari itu juga, Grüber bisa merampungkan melodi untuk syair itu. Maka jadilah lagu "Malam Kudus" (Silent Night) yang beberapa abad kemudian menjadi "lagu wajib" pada setiap perayaann Natal.

Siapakah Joseph Mohr? Dia dilahirkan tahun 1792 di Steingasse, di sebuah perkampungan kumuh di Austria. Seorang pastor merasa kasihan melihat Mohr kecil terpaksa mengamen di jalanan. Imam Katolik itu lalu memungutnya dari jalanan dan menyekolahkan di Salzburg. Di sana, selain belajar agama, Mohr juga belajar bermain organ, biola dan gitar. Tahun 1818, Mohr ditempatkn sebagai asisten pastor di gereja St. Nicholas.

Sesuai dengan rencananya, pada malam Natal di tahun 1818, Mohr menyanyikan lagu ciptaanya itu dengan iringan gitar Grüber (karena organ gereja masih rusak). Lagu yang masih gres itu ternyata menyentuh hati jemaat yang datang beribadah.

Meski terbilang sukses, namun mereka tidak pernah punya niat untuk menyebarkan lagu itu ke luar desa. Seminggu kemudian, Karl Maurachen, tukang servis organ kenamaan dari Zillerthal datang untuk memperbaiki alat musik di gereja itu. Ketika sudah beres, Grüber dipersilahkan mencoba memainkan organ itu. Pada kesempatan itu, Grüber memainkan lagu yang baru diciptakan itu. Maurachen sangat terkesan mendengar lagu itu. Dia minta salinan komposisi lagu itu dan membawanya pulang.

Di tangan Maurachen, lagu itu mulai menyebar dan menjadi lagu rakyat di wilayah Tyrol. Lagu ini menjadi semakin populer ketika kuartet Strasser,--empat wanita bersaudara--, menyanyikan lagu ini berkeliling di seluruh Austria. Tahun 1838, lagu ini sudah dikenal di Jerman sebagai "lagu tidak jelas asal-usulnya."

Di Amerika, lagu ini diperkenalkan oleh Rainers, sebuah keluarga penyanyi dari Tyrol dalam sebuah tur konser, tahun 1839. Seperempat abad kemudian, Jane Campbell menterjemahkan syairnya ke dalam bahasa Inggris. Tahun 1980, Yayasan Musik Gereja (Yamuger) menterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Syairnya sebagai berikut: "Malam kudus, sunyi senyap. Dunia terlelap. Hanya dua berjaga terus. Ayah Bunda mesra dan kudus. Anak tidur tenang."

Nada-nada dari Sorga

Lagu Natal lain yang juga terkenal adalah "O Litle Town of Betlehem". Lagu ini berasal dari coretan pena Phillips Brooks, seorang pengkhotbah ngetop di Amerika. Brooks menuliskan lagu ini setelah berkunjung ke Israel, tahun 1865. Dia mendapat kesan yang sangat mendalam ketika merayakan Natal di gereja kelahiran Kristus di Betlehem. Tiga tahun kemudian, ketika menjadi pendeta di gereja Holly Trinity, Philadelphia, Brooks mencari lagu Natal baru untuk dipentaskan dalam perayaan Natal Sekolah Minggu. Dia lalu teringat pengalamannya di Betlehem itu dan menuangkannya dalam bentuk syair lagu.

Brooks lalu memberikan syair itu pada Lewis H. Redner, pemain organ gereja dan pemimpin Sekolah Minggu. Brooks minta dibuatkan melodi untuk dipentaskan pada malam Natal. Selama beberapa hari Redner bekerja keras mencari nada-nada yang cocok, tetapi tidak juga ditemukan yang pas. Hingga pada sore hari sebelum malam Natal, tiba-tiba Redner terbangun dari tidurnya. Dia langsung menyusun komposisi lagu, yang tiba-tiba meluncur deras di batinnya. Sampai meninggal dunia, Redner tetap yakin bahwa nada-nada itu berasal dari Sorga. Yamuger menterjemahkannya menjadi "Hai Kota Mungil Betlehem", tahun 1978.

Kebosanan Watts

"Gembira" atau "Joy" merupakan kata yang tepat untuk menggambarkan suasana hati orang Kristen pada masa Advent (saat-saat penantian menjelang Natal). Himne ini diciptakan oleh Isaac Watts (1674-1748), yang merupakan parafrase dari Mazmur 98:4-9. Perikop ayat ini menceritakan janji Tuhan untuk memulihkan dan melindungi umat-Nya.

Sejak kecil, Isaac Watts sudah menampakann kejeniusannya. Pada usia lima tahun, bocah Inggris ini sudah fasih bahasa Latin. Usia sembilan tahun menguasai bahasa Yunani. Belajar bahasa Perancis pada usia sebelas tahun dan bahass Ibrani pada umur tiga belas. Pada usia 18 tahun, dia merasa bosan dengan cara jemaat menyanyikan ayat-ayat mazmur pada masa Advent. Suatu hari Minggu, setelah kebaktian, ayahnya menantang Watts: "Anak muda, kalau kamu bosan, mengapa tidak menciptakan lagu yang lebih baik?"

Merasa mendapat tantangan, Watts bertekad menciptakan lagu berdasarkan kitab Mazmur. Maka terciptalah lagu yang aslinya berjudul "The Messiah's Coming and Kingdom". Untuk musiknya, Lawol Mason, seorang musisi Amerika mengadaptasi fragmen komposisi George Frederick Handel, seorang komponis Jerman. Tahun 1980, Yamuger menterjemahkan lagu Joy to the World" ini dengan judul "Hai Dunia, Gembiralah"

Lagu Langka

Pada tahun 1627, parlemen Inggris yang puritan melarang penggunaan lagu-lagu Natal (Christmas carol) karena mereka menganggap perayaan ini sebagai "festival duniawi". Akibatnya, hingga awal abad ke-18, terjadi kelangkaan lagu-lagu Natal. Lagu "Hark! The Herald Angels Sing" yang ditulis Charles Wesley termasuk di antara sedikit lagu yang ditulis pada masa itu. Sama seperti 6500 lagu lainnya yang ditulis Wesley, lagu ini juga mengandung doktrin-doktrin Alkitabiah dalam bentuk puisi. Bait pertama menceritakan lagu para malaikat yang mengundang untuk bergabung memuji Kristus.

Charles Wesley mengikuti jejak ayahnya dan John Wesley, kakaknya, masuk dalam kegiatan pelayanan. Tahun 1730-an, tidak berapa lama setelah pentahbisannya, Charles Wesley dan dua saudaranya mengikuti gubernur Oglethorpe melakukan perjalanan ke Amerika. Saat itu, Chares Wesley menjadi sekretaris gubernur. Dalam pelancongan ini Charles Wesley mengalami pertobatan. Sekembalinya ke Inggris, dia lalu memutuskan menjadi pengkhotbah keliling.

Setahun setelah pertobatannya, Wesley menciptakan lagu Natal yang oleh Yamuger diterjemahkan dengan judul "Gita Sorga Bergema" (1977). Menurut John Julian, pakar himne terkenal, lagu ini termasuk salah satu di antara empat himne paling populer di Inggris.

Lagu yang terakhir ini memiliki syair sederhana sehingga mudah dimengerti maknanya oleh anak-anak sekalipun. Itulah sebabnya, lagu ini termasuk lagu Natal yang pertama kali diajarkan pada anak-anak. Pada mulanya, lagu "Away in the Manger" ini berjudul "Luther Cradle Hymn". Konon, syair lagu ini sengaja ditulis Martin Luther untuk anak-anaknya. Tetapi melalui penelitian yang seksama, ternyata tidak ada bukti yang mendukung kebenaran klaim ini. Bait pertama dan kedua pertama kali dimuat di "Litle Children's Book", Philadelphia, tahun 1885. Sedangkan bait ketiga disusun oleh John T. Mcfarland, seorang pendeta Methodis.

(Endang Sabrina / Berbagai sumber)...

Footprints

Footprints
ShaJee

Friend & BRo